Situs resmi Puri Agung Dharma Giri Utama

Konsep dasar pemujaan dan Kesenangan Para Leluhur Cetak Email

Tak disangka bahwa selama ini saya begitu tidak mengetahui perihal Ida Betara yang melinggih di pura-pura. Baik di pura merajan maupun pura Dhang Khayangan atau pura Khayangan Jagat. Saking kurangnya pengetahuan, menjadi merasa takut kalau melakukan kebaktian pada pura-pura tersebut. Apalagi di malam hari yang sepi dan pada dina kliwon.

Setelah mengetahui sedikit demi sedikit bahwa sebenarnya yang melinggih atau berstana di pura-pura adalah para Leluhur manusia, maka ketakutan tersebut berubah menjadi semacam kedekatan. Merasa ada hubungan darah sehingga kebaktian atau pemujaan bukan lagi kepada sesuatu yang sama sekali tidak diketahui. Beliau para Leluhur adalah Bapak dan Ibu manusia yang telah di-Linggihkan pada pura-pura  atay Prayangan.

Pura Mandara Giri Semeru AgungKonsep pura dalam hal ini bisa dikatakan sebagai konsep makam para Leluhur. Konsep ini dimulai dengan adanya candi-candi yang berkembang sejak jaman Kerajaan Majapahit. Raja yang mangkat atau meninggal pada jaman majapahit diperabukan atau dilakukan ritual pelebon kemudian roh Beliau di-Enteg Linggihkan di Candi-candi. Dalam waktu berikutnya, keturunan daripada Raja-raja yang telah meninggal tersebut akan membuat persembahan pada candi-candi tempat para Leluhur di-Linggihkan. Akhirnya di Bali sendiri membuat pura-pura dan bentuk pelinggih tertentu yang merupakan manifestasi dari para Leluhur tersebut. Atau pelinggih yang merupakan simbol dari para Leluhur di mana pada hari-hari tertentu umat Bali melakukan persembahyangan atau persembahan atau dalam konsep yang lebih mendasar yaitu konsep nyekar ke makam. Dalam nyekar yang digunakan adalah sekar atau bunga. Sedangkan dalam konsep pemujaan kepada Leluhur digunakan banten. Banten yang beraneka macam adalah bahasa atau jembatan atau sarana komunikasi kepada Beliau para Leluhur tergantung dari maksud persembahan atau nyekar tersebut. Banten juga adalah wakil dari pada mantra. Dalam sastra banten juga sering disebut sebagai weda tanpa mantra, yang sebenarnya adalah Yantra.

Dengan konsep perabuan atau pelebon atau kremasi yang kemudian di-Linggihkan dalam candi atau pura maka ini berarti para Leluhur kita umat Ciwa-Buddha atau Hindu-Dharma akan dengan mudah kita kenali yaitu dengan menemukan situs para Leluhur, yaitu dari keberadaan pura atau candi dan bukan dari makam.

Konsep pemujaan kepada Leluhur ini di Bali masih lestari sampai sekarang. Begitu ada orang meninggal dilakukanlah upacara pengabenan yang kemudian diikuti acara ngelinggihang pada akhir prosesi, dan mendapat sebutan sebagai Dewa Pitara. Dikemudian hari anak cucu akan melakukan persembahan pada hari-hari piodalan, memuja Leluhur sebagai Dewa Pitara tanpa mengenang baik buruknya semasa hidup, tujuan dari ini semua agar manakala lahir kembali mewarisi sifat-sifat Dewa. Sedangkan di Jawa sejak kerajaan Majapahit runtuh, konsep me-Linggihkan pada candi tidak lagi dilakukan karena masyarakat telah memeluk agama Islam yang berkonsep makam dan nyekarnya.

Jadi sebagai umat Ciwa-Buddha, mengenali dan mengetahui Leluhur yang melinggih pada pura-pura yang dikunjungi adalah sangat penting karena tujuan dari persembahyangan adalah memuja Beliau yang melinggih pada pada pura tersebut. Juga dalam situasi khusus, mengetahui kesenangan Ida Betara yang kita kunjungi dan melinggih di satu pura adalah hal yang sangat penting. Untuk mengetahui kesenangan-kesenangan Ida Betara biasanya bisa ditanyakan kepada para pengempon atau pemangku pura yang bersangkutan.


Sebagai contoh: kalau melakukan persembahan di pura Besakih di pelinggih Ida Betara Ratu Syahbandar maka persembahan kepada Beliau adalah Vegetarian. Tidak ada persembahan dalam bentuk daging. Jadi cukup kue-kue yang dibuat juga tanpa daging atau telor dan buah-buahan. Bunga yang baik adalah bunga teratai.

Kalau Ratu Bagus Ketut atau Dewa Rare Angon kesenangannya adalah arak api, sate kambing asli dan jagung bakar yang dibeli di renon denpasar. Kalau Ratu Niang Sakti dan Dewayu Mas Melanting adalah Lekesan. Hyang Sabdapalon kesenangannya adalah Cerutu dan Coca cola. Hyang Mpu Kuturan dan Hyang Mpu Bharadah kesenangannya apabila kita sudah datang dengan tulus ikhlas cukup sepucuk kembang dan dupa. Gusti Kanjeng Ratu Roro Kidul senang dengan persembahan bunga melati dan kembang telon (1 mawar merah, 2 cempaka dan 5 kenanga). Ida Bhatari Durga kesenangannya adalah kembang telon dan wangi-wangian (parfum cendana). Dewi Kwan Im senang dengan persembahan bunga yang ditata di dalam vas. Dewa Bumi senang dengan persembahan bakpao vegetarian. Demikianlah beberapa kesenangan para Leluhur yang sebenarnya hanyalah Yantra.

 

Pengurus

Sample image Jro Mangku Panji
Pemangku
Sample image I Gusti Ngurah Suarnita
Ketua
Sample image Wayan Budiarta
Sekretaris 1
Sample image Putu Eka Kurniawati
Sekretaris 2
Sample image I Wayan Sudiawan
Bendahara 1
Sample image Jero Menuh
Ketua Dharma Ayu

Hubungi kami

PURI AGUNG DHARMA GIRI UTAMA

Jl. By Pass Ngurah Rai No 60, Kesiman, Kertalangu,
Denpasar Timur 80237, Bali - Indonesia


Email:info@dharmagiriutama.org
Web: www.dharmagiriutama.org
 
PURA PUROHITA
Lembah Dusun Benyahe,
Desa Unggahan, Seririt,
Buleleng, Bali.
Jro Mangku Wana
0821 44619899
Posisi anda  : Home Artikel Sejarah dan Umum Konsep dasar pemujaan dan Kesenangan Para Leluhur