Situs resmi Puri Agung Dharma Giri Utama

Bajra Winarah Pitu - Kisah Pujawali Eka Dasa Rudra Cetak Email
Ditulis oleh Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita   
Taksunya hampir dilupakan pinandita

Seorang pertapa bersila tekun di kaki gunung Toh Langkir. Dihadapannya tujuh bajra berjejer mulai dari ukuran kecil hingga besar. Sebagian wujud pegangannya berukirkan para Dewa. Sang pertapa masih menunggu kesunyian bahtin. Bayangan putra satu-satunya yang telah menjadi seonggok abu mengusiknya.

Sesekali tampak perutnya mengembang, menyerap prana disekitarnya. Udara sisa dihembuskan melalui mulut dengan halus. Beberapa lama kemudian kembang kempis perutnya semakin halus, bagai nafas bayi yang baru lahir. Prana disekitar tempatnya bersila mulai deras mengelilingi tubuh sang pertapa. Sesekali ada petir halus memancarkan sinarnya di udara, ekor petir seukuran rambut dibelah sepuluh terkadang menyentuh tujuh bajra tersebut. Kurang terang dalam pengertian, halilintar yang menyambar bajra ataukah bajra menyemburkan halilintar.

Sang pertapa yang tak lain adalah Mpu Sendok sedang berduka. Putranya hangus disembur api naga Basuki yang marah karena ekornya dipotong Manik Angkeran. Hari ini Mpu Sendok melakoni adi lampah, ngojah para Dewa sejagat dan Leluhur. Intisari lautan Weda, warisan sastra Leluhur diselami selama hidup akan dikerahkan. Teguh bhaktinya kepada para Dewa, Leluhur serta kesetiaannya kepada Siwa Budha akan diuji. Naga Basuki telah berjanji, kalau ekornya dapat menyambung kembali, Manik Angkeran yang telah menjadi abu akan berwujud kembali seperti sediakala.

Udara Toh Langkir lebih dingin dari biasanya dikarnakan uleng manah, jnana, kekuatan pikiran sidhi lan shakti sang pendeta anunggal. Kekuatan kiwa dan tengen menyatu. Tiga pusat kehidupannya; bhur, bhuwah dan swah bersinar terang, memusat di ulu hati, pada chakra anahata, jantung. Intisari ajaran Siwa Budha telah menyatu di bathin sang Pendeta. Dalam relungnya, Beliau memahami hanya kekuatan budhi, karuna budhi, kasing sayang yang bisa melampaui keinginan. Bahkan para Dewa tidak bisa menghalangi keinginan manusia yang telah mencapai budhi pekerti tinggi.

Udara sekarang campur bawur. Kadang panas kadang dingin, membawa sifat kiwa tengen yang silih ganti. Nafas yang terhenti menciptakan panas karena prana tubuh diolah sempurna. Penarikan prana ke dalam tubuh mencipta dingin. Beliau seorang Mpu yang mumpuni, bathinnya kuat di dalam ajaran Siwa Budha.
Baca selengkapnya...
 
Kutukan Narada Kepada Sri Wisnu Cetak Email
Ditulis oleh Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita   

sri_wisnu_awatara_ramaPada perjalanan muput ke Gedong Songo, Semarang, Juni 2015 mendapatkan sebuah cerita kisah latar belakang Awatara Rama turun ke Bumi. Demi Dewa Sejagat, ini asli bersumber dari wujud Sri Wisnu yang lain yaitu Kalki Awatara. Ketikan sesuai dengan aslinya tidak diedit.
 
Manakala di Gedong Songo Beliau hadir bersama Hanoman dan mengatakan bahwa Awatara Rama mencapai pencerahan, dan mengetahui diri-Nya adalah Awatara Rama di Gedong Songo, Semarang, Jawa Tengah. Yang mengejutkan, saat itu pula Beliau mengatakan bahwa negeri Alengka berada di Tampak Siring. Hanoman yang berada di sebelahnya saat itu mengangguk. Aku bertanya: “Mengapa bisa Ratu? Bukankah sastra menceritakan kisah ini terjadinya di India?”. Hyang Kalki menjawab: “Jambudwipa negeri modern saat itu kekuasaannya sampai ke wilayah ini, dan belum disebut India. Peradaban ada di pusat pemerintahan sehingga sastra dicatat di sana dan berabad-abad kemudian menjadi negeri India. Indonesia menjadi tanah suci di masa itu dan tetap menjadi tanah suci sampai sekarang dan sampai akhir zaman. Bukankah AKU telah turun pertama kali di Purohita Pura bersama Budha Ji Gong, dan menunjukkan arti dari Purohita yang sesungguhnya”. Setelah itu Hyang Kalki raib dan tinggallah Hanoman yang masih bercakap-cakap dengan diriku. Purohita artinya pencerahan, orang-orang suci. Berikut adalah sabda Hyang Kalki Awatara:
Baca selengkapnya...
 
Bhisama Bhatara Kawitan Pasek Gelgel Cetak Email
Ditulis oleh Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita   
Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita
 
Keberadaan Purohita Pura berdiri atas restu Puri Agung Dharma Giri Utama, di mana Pinisepuh I Gusti Agung Yudhistira yang bergelar abhiseka Bhatara Raja Wilatikta XIV, sebagai Ratu yang disungkemi para abdi dalem yang disebut para. Pendirian Pura sesuai dengan pakem dari Raja Purana yaitu Puri Para Pura Purana. Setelah Puri memiliki Para atau abdi maka dibuatlah Pura kemudian sejarah mencatatnya sebagai Purana. Bukanlah suatu kebetulan kemudian Hyang Mpu Kuturan mengamanahkan untuk mewujudkan stana dari Yamadipati atau Sang Hyang Purohita.
 
petapakan ratu ayu magelun dan dalem sidakaryaSelanjunya, karena adanya bhisama Ida Bhatara Lingsir Pasek Gelgel kepada Wargi Sentana atau keturunannya, dan kebetulan sebagai abdi dari Bhatara Raja, maka saya Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro (waktu masih walaka) memohon izin untuk mendirikan simbol dari Puri di Purohita Pura agar wargi Sentana Pasek yang selama ini jarang mengetahui bhisama ini tidak salah dalam melakukan bhakti sebagai warga Pasek Gelgel. Adapun bhisama Ida Bhatara Kawitan Pasek Gelgel adalah sebagai berikut:
 
"pratisentananingsun kabeh, nira bhatara lingsir pasek gelgel maweh sesuluh dening pasek ngarannya pelaksana sesana kawitan, sang amangku titah saking ratuning rat. mwang memarek ngiring ratuning rat sasuwen urip ingsun. nihan mangkana ingsung awedar tata titi ngaran: utamaning bhakti warih pasek gelgel, inganika bhakti ring puri ikang pageh ngelakoni tattwa padesa, lantur wenang kita anembah bhakti ring manira".
Baca selengkapnya...
 
Kisah Gusti Kanjeng Ratu Kidul Cetak Email
Ditulis oleh Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita   
Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita
 
Gua Hiranya Garbha dan Jero Sukar, mangku pengayah di Gua. Lihatlah muka Jero Sukar, ada sisik-sisik naga.Pada saat perjalanan ke Tirtomoyo, Wonogiri menelusuri perjalanan Leluhur, hadirlah putra Bhatara Indra Wilatikta, secara gaib. Beliau hanya menyebut Putra Bhatara Indra Wilatikta dan kemudian menceritakan kisah Penguasa Pantai Selatan dan Pantai Utara. Inilah kisah Beliau:
 
Seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai Selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Baca selengkapnya...
 
Mustika Dewa - Manusia Setengah Dewa Cetak Email
Ditulis oleh Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita   

Adalah alam Bhur yang bergetar-getar memuntahkan api. Porosnya berputar seperti mendulang emas. Yang mulia mendekati poros kemuliaan dan keabadian. Sementara yang isinya kosong karena kentut sembarangan menjauhi poros. Hancur hidupnya di jaman Kali!
Alam Bhuah tertawa gembira mengais sampah. Seperti kukatakan, banyak yang kentut sembarangan karena makanannya sampah. Morat-marit ibarat di jaman purba. Yang menang yang berkuasa.
Bapak Akasa menangis dengan hujan. Kilat dan Guntur menegur para budak berbaju berlian. Sementara yang berhati emas mengagumi keindahan namun khawatir bumi ini segera runtuh!

Aku akan ceritakan Keajaiban Tantra yang paling tinggi dalam sejarah manusia. Adalah Titisan Dewa turun ke bumi yang sedang carut marut, dikirim alam semesta untuk menengahi pergolakan pikiran-pikiran yang kejam. Apakah dajjal sudah merasuki pikirannya yang bobrok?

Kukatakan di sini, pada jaman Kali, Titisan Dewa telah turun, menuju manusia yang masih memiliki budi  yang terbaik yang masih bersisa, Beliau kemudian menyiraminya dengan air mata bersimbah darah, menandakan kesedihan yang mendalam melihat kekuatan dajjal melebihi kekuatan para Dewa. Tak berselang lama, manusia ini dididik dengan kejam namun di penghujung hari, sari dari madu suguhan para Dewa adalah anugrahnya.

Dewa Titisan selanjutnya menceritakan pengetahuan mengenai Mustika Dewa, yang tiada lain adalah darah Dewa yang keluar dari mulut Dewa. Bentuknya bulat seperti kelereng, keras bagai kristal dan sangat panas melebihi panas yang dipahami oleh manusia. Warnanya merah bening namun bersinar terang benderang dengan warna darah. Bias sinarnya sangat lembut namun pancarannya tajam.

Baca selengkapnya...
 
  • «
  •  Mulai 
  •  Prev 
  •  1 
  •  2 
  •  Next 
  •  End 
  • »


Halaman 1 dari 2
Posisi anda  : Home